Senin, 15 Desember 2014


KELOMPOK 1
MENELASKAN TENTANG PERLAWANAN RAKYAT ACEH TERHADAP PORTUGIS DAN BELANDA







 





DISUSUN OLEH:
    LIKA NURMALIKA ( 27 )
    MAULIDYA PUTRI ( 31 )
XI PEMASARAN 1
SMK NEGERI 44 JAKARTA PUSAT
1.     Perlawanan Rakyat Nusantara Aceh
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/b/b0/COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Studioportret_van_pretendent_Sultan_van_Aceh_Ala_Ad-din_Muhammed_Daud_met_lijfwacht_TMnr_60041820.jpghttp://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/d/d9/COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Portret_van_de_Sultan_van_Atjeh_TMnr_10001853.jpg
Muhammad Daud Syah Johan
http://nadaceh.files.wordpress.com/2012/02/sultan-iskandar-muda.jpghttp://4.bp.blogspot.com/-Ch9c920fDrw/T3sF2Fx2L0I/AAAAAAAAA9I/iSk8TI8u8lQ/s400/cut-nyak-dien001.jpg
Sultan Iskandar Muda (1593-1636) dan Cut Nyak Dien
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi4Fm3rwN-gMT3uVwMv7SV9tyVXTdGNiA9GykANSseS4QbPvRQSRtFuPuOo0DY_EELxygy48fkVU7wrB86Ia02_JXGAJE2g2gMggWznaCJ86PJFruYmhnu3lJ4supKj9brcdlGqI-bI4B7L/s1600/TEUKU+UMAR.jpg http://userdisk.webry.biglobe.ne.jp/008/106/61/N000/000/011/126348962446116303604_aceh-29-2baru.jpgpanglima polim
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg_Vetnf3F_q1_V0actPPUO13pMvtg2TLcfTnR5Kr4Sjw2q_U6Dx82F1-AdeeFKgfO_WZlthxRoEX5jAehjKhMbzINUKqzishjhhMd_tZTpN4exwhKgqlFA-9ZA6BFeDEtZnU0FosnnoU8/s1600/Kerajaan+Kerajaan+Islam+di+Indonesia_page4_image5.jpg     https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjVqoTiLTU4hRGb8nCwTgXFJAaCncJ-dJ1vAnYEUKjchhBFtBrRs84f_Zzved_wtv8SovXGgkUWTkUBWqPDQ2bRxdrK21E7OsQnKj7rodH1BfQWcOc2KvFMaAxcqiexUSA1A6dxfso1vuHH/s1600/kerkof+peucut.JPG
kerajaan aceh dan Kherkoff Peucut adalah kompleks kuburan perwira Belanda yang tewas dalam perang Aceh, jumlahnya mencapai 2000 lebih nisan yang tersimpan di dalamnya.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhCsawVHRDLk9RT41PJkNEDiP8b6smWjy-xATS3hALhyphenhyphenDm1zMv1BWRg3OP1MHlQl8pgVdfEaTMKrUR0ML9reKEFEzpUYiEcCpH30j8KWqaHKn2G1LZC4KTk7Brqs52hrP1vpw5vSdLn-sU/s400/voc.jpg
Para penjajah dari portugis
A.    Aceh Melawan Portugis 
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhdBmCe9M9C-qyBFv_mFVk6q7gfc4e6Oc-PXhgTIXMsTbjN48jUJ2cw2o2fZ_Oyf5uIWe2HL2oP7ROJ0fDEXJnASbe7F2-WAZHZJDf2NZrMXwt6n7iSTjWi2ukBI2mW2cFCMQdIBh-g92A/s1600/Atjeh+2.jpg
Seperti yang telah diketahui bahwa bangsa Eropa yang pertama kali datang ke Indonesia adalah bangsa Portugis. Kedatangan bangsa Portugis ke Indonesia sangatlah ditentang keras oleh penguasa dan rakyat Indonesia pada waktu itu, terutama masyarakat Malaka dan juga masyarakat Aceh. Bahkan pada waktu, Sultan Aceh menganggap bahwa Portugis merupakan saingan dalam berpolitik, ekonomi dan atau bahkan dalam hal penyebaran agama. Anggapan Sultan Aceh terhadap bangsa Portugis tersebut didasarkan pada informasi yang telah ia dapatkan dari Sultan di Malaka, yang telah dijajah sebelumnya.

            Perlawanan rakyat Aceh terhadap bangsa Portugis mencapai puncaknya pada waktu Aceh dipimpin oleh kesultanan Aceh, Sultan Iskandar Muda (1607- 1636). Ada berbagai cara yang telah dilakukan oleh Kesultanan Aceh tersebut untuk melumpuhkan kekuatan bangsa Portugis, salah satunya yaitu dengan cara memblokade perdagangan. Pemblokadean perdagangan yang dimaksud adalah dengan cara melarang rakyat Aceh untuk menjual lada dan timah kepada Bangsa Portugis.

            Dengan cara yang telah kesultanan Aceh, Sultan Iskandar Muda, lakukan ternyata membuahkan hasil yang mana kekuatan bangsa Portugis bisa dilumpuhkan. Namun hasil tersebut tidaklah begitu sempurna. Hal tersebut dikarenakan, penguasa- penguasa kecil Malaka secara sembunyi- sembunyi menjual lada dan timah mereka ke bangsa Portugis. Adapun alasan kenapa penguasa- penguasa kecil Malaka menjual dagangannya ke Portugis yaitu karena mereka membutuhkan uang.

            Kesultanan Aceh, Sultan Iskandar Muda, merasa taktik pemblokadean perdagangan di wilayahnya sebagai cara untuk melumpuhkan Portugis ternyata tidaklah sempurna hasilnya. Maka Sultan Iskandar Muda pun menyerang kedudukan Portugis yang pada saat itu masih berpusat di Malaka pada tahun 1629. Sultan Iskandar Muda tersebut kemudian mengerahkan seluruh kekuatan tentara Aceh untuk mengalahkan Portugis. Namun sayangnya, usaha yang di lakukan oleh kesultanan Aceh tersebut mengalami kegagalan, bahkan pasukan tentara yang telah dikerahkan oleh Sultan Iskandar Muda dapat dipukul mundur oleh pasukan Portugis.
            Adapun raja- raja Aceh yang memimpin masyarakat untuk melakukan perlawanan kepada Portugis yaitu Sultan Ali Mughayat Syah , Sultan Alaudin Riayat Syah, dan tak lupa pula sultan Iskandar Muda. Raja- Raja tersebutlah yang memberikan semangat juang kepada rakyatnya, agar tidak di jajah atau dikuasai oleh pihak luar, termasuk Portugis.
            Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, justru membawa hikmah bagi Aceh. Banyak para pedagang Islam yang menyingkir dari Malaka menuju ke Aceh. Dengan demikian perdagangan di Aceh semakin ramai. Hal ini telah mendorong Aceh berkembang menjadi bandar dan pusat perdagangan. Perkembangan Aceh yang begitu pesat ini dipandang oleh Portugis sebagai ancaman, oleh karena itu, Portugis berkehendak untuk menghancurkan Aceh. Pada tahun 1523 Portugis melancarkan serangan ke Aceh di bawah pimpinan Henrigues, dan menyusul pada tahun 1524 dipimpin oleh de Sauza. Beberapa serangan Portugis ini mengalami kegagalan.
            Portugis terus mencari cara untuk melemahkan posisi Aceh sebagai pusat perdagangan. Kapal-kapal Portugis selalu mengganggu kapal-kapal dagang Aceh di manapun berada. Misalnya, pada saat kapal-kapal dagang Aceh sedang berlayar di Laut Merah pada tahun 1524/1525 diburu oleh kapal kapal Portugis untuk ditangkap. Sudah barang tentu tindakan Portugis telah merampas kedaulatan Aceh yang ingin bebas dan berdaulat berdagang dengan siapa saja, mengadakan hubungan dengan bangsa manapun atas dasar persamaan. Oleh karena itu, tindakan kapal-kapal Potugis telah mendorong munculnya perlawanan rakyat Aceh. Sebagai persiapan Aceh melakukan langkah-langkah antara lain:
1.     Melengkapi kapal-kapal dagang Aceh dengan persenjataan, meriam dan prajurit
2.     Mendatangkan bantuan persenjataan, sejumlah tentara dan beberapa ahli dari Turki pada tahun 1567.
3.     Mendatangkan bantuan persenjataan dari Kalikut dan Jepara.
            Setelah berbagai bantuan berdatangan, Aceh segera melancarkan serangan terhadap Portugis di Malaka. Portugis harus bertahan mati-matian di Formosa/ Benteng. Portugis harus mengerahkan semua kekuatannya sehingga serangan Aceh ini dapat digagalkan. Sebagai tindakan balasan pada tahun 1569 Portugis balik menyerang Aceh, tetapi serangan Portugis di Aceh ini juga dapat digagalkan oleh pasukan Aceh.
Sementara itu, Portugis mempunyai rencana terhadap Aceh sebagai berikut :
1.     Menghancurkan Aceh dengan jalan mengepungnya selama 3 tahun.
2.     Setiap kapal yang berlayar di selat Malaka akan disergap dan dihancurkan.
            Rakyat Aceh dan para pemimpinnya selalu ingin memerangi kekuatan dan dominasi asing, oleh karena itu, jiwa dan semangat juang untuk mengusir Portugis dari Malaka tidak pernah padam. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1639), semangat juang mempertahankan tanah air dan mengusir penjajahan asing semakin meningkat. Iskandar Muda adalah raja yang gagah berani dan bercita-cita untuk mengenyahkan penjajahan asing, termasuk mengusir Portugis dari Malaka. Iskandar Muda berusaha untuk melipatgandakan kekuatan pasukannya. Angkatan lautnya diperkuat dengan kapal-kapal besar yang dapat mengangkut 600-800 prajurit. Pasukan kavaleri dilengkapi dengan kuda-kuda dari Persia, bahkan Aceh juga menyiapkan pasukan gajah dan milisi infanteri. Sementara itu untuk mengamankan wilayahnya yang semakin luas meliputi Sumatera Timur dan Sumatera Barat, ditempatkan para pengawas di jalur-jalur perdagangan.
            Para pengawas itu ditempatkan di pelabuhan-pelabuhan penting seperti di Pariaman. Para pengawas itu umumnya terdiri para panglima perang. Setelah mempersiapkan pasukannya, pada tahun 1629 Iskandar Muda melancarkan serangan ke Malaka. Menghadapi serangan kali ini Portugis sempat kewalahan. Portugis harus mengerahkan semua kekuatan tentara dan persenjataan untuk menghadapi pasukan Iskandar Muda. Namun, serangan Aceh kali ini juga tidak berhasil mengusir Portugis dari Malaka. Hubungan Aceh dan Portugis semakin memburuk. Bentrokan-bentrokan antara kedua belah pihak masih sering terjadi, tetapi Portugis tetap tidak berhasil menguasai Aceh dan begitu juga Aceh tidak berhasil mengusir Portugis dari Malaka. Yang berhasil mengusir Portugis dari Malaka adalah VOC pada tahun 1641.
B.    Sejarah Perang Aceh Melawan Belanda, 1873-1904
http://i1.wp.com/www.rnw.nl/data/files/imagecache/rnw_slideshow/images/image/article/2012/05/atjehmoorden.jpg?resize=549%2C412
Perang Aceh ialah perang Kesultanan Aceh melawan Belanda dimulai pada 1873 sampai 1904. Kesultanan Aceh menyerah pada 1904, tapi perlawanan rakyat Aceh dengan perang gerilya terus berlanjut. Pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda menyatakan perang kepada Aceh, & mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen.
Pada 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Johan Harmen Rudolf Köhler, & langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman. Köhler saat itu membawa 3. 198 tentara. Sebanyak 168 di antaranya para perwira.
Penyebab Terjadinya Perang Aceh
Perang Aceh disebabkan karena:
Belanda menduduki daerah Siak. Akibat dari Perjanjian Siak 1858. Di mana Sultan Ismail menyerahkan daerah Deli, Langkat, Asahan & Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda, berada di bawah kekuasaan Aceh.
Belanda melanggar perjanjian Siak, maka berakhirlah perjanjian London tahun 1824. Isi perjanjian London ialah Belanda & Britania Raya membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dengan garis lintang Singapura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh.
Aceh menuduh Belanda tak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yg lewat perairan Aceh ditenggelamkan oleh pasukan Aceh. Perbuatan Aceh ini didukung Britania.
Dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps. Menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalu lintas perdagangan.
Ditandatanganinya Perjanjian London 1871 antara Inggris & Belanda, yg isinya, Britania memberikan keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Malaka. Belanda mengizinkan Britania bebas berdagang di Siak & menyerahkan daerahnya di Guyana Barat kepada Britania.
Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika Serikat, Kerajaan Italia, Kesultanan Usmaniyah di Singapura. Dan mengirimkan utusan ke Turki Usmani pada tahun 1871.
Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika, Italia & Turki di Singapura, Belanda menjadikan itu sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh & meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tentang apa yg sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan.

Strategi Siasat Snouck Hurgronje Mata-mata Belanda
Untuk mengalahkan pertahanan & perlawan Aceh, Belanda memakai tenaga ahli Dr. Christiaan Snouck Hurgronje yg menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan & ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh [De Acehers]. Dalam buku itu disebutkan strategi bagaimana untuk menaklukkan Aceh. Usulan strategi Snouck Hurgronje kepada Gubernur Militer Belanda Joannes Benedictus van Heutsz adalah, supaya golongan Keumala [yaitu Sultan yg berkedudukan di Keumala] dengan pengikutnya dikesampingkan dahulu.
Tetap menyerang terus & menghantam terus kaum ulama. Jangan mau berunding dengan pimpinan-pimpinan gerilya. Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya. Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi & membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh. Ternyata siasat Dr Snouck Hurgronje diterima oleh Van Heutz yg menjadi Gubernur militer & sipil di Aceh [1898-1904]. Kemudian Dr Snouck Hurgronje diangkat sebagai penasehatnya.
Kronologi Perang Aceh Pertama
Perang Aceh Pertama [1873-1874] dipimpin oleh Panglima Polim & Sultan Mahmud Syah melawan Belanda yg dipimpin Köhler. Köhler dengan 3000 serdadunya dapat dipatahkan, dimana Köhler sendiri tewas pada tanggal 14 April 1873. Sepuluh hari kemudian, perang berkecamuk di mana-mana. Yang paling besar saat merebut kembali Masjid Raya Baiturrahman, yg dibantu oleh beberapa kelompok pasukan. Ada di Peukan Aceh, Lambhuk, Lampu’uk, Peukan Bada, sampai Lambada, Krueng Raya. Beberapa ribu orang juga berdatangan dari Teunom, Pidie, Peusangan, & beberapa wilayah lain. Perang Aceh Pertama ialah ekspedisi Belanda terhadap Aceh pada tahun 1873 yg bertujuan mengakhiri Perjanjian London 1871, yg menindaklanjuti traktat dari tahun 1859 [diputuskan oleh Jan van Swieten]. Melalui pengesahan Perjanjian Sumatera, Belanda berhak mendapatkan pantai utara Sumatera yg di situ banyak terjadi perompakan. Komisaris Pemerintah Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen yg mengatur Aceh mencoba mengadakan perundingan dengan Sultan Aceh namun tak mendapatkan apa yg diharapkan sehingga ia menyatakan perang pada Aceh atas saran GubJen James Loudon. Blokade pesisir tak berjalan sesuai yg diharapkan.
Belanda kemudian memerintahkan ekspedisi pertama ke Aceh, di bawah pimpinan Jenderal Johan Harmen Rudolf Köhler & sesudah kematiannya tugasnya digantikan oleh Kolonel Eeldert Christiaan van Daalen. Dalam ekspedisi tersebut dipergunakan senapan Beaumont untuk pertama kalinya namun ekspedisi tersebut berakhir dengan kembalinya pasukan Belanda ke Jawa. Tak dapat disangkal bahwa Masjid Raya Baiturrahman direbut 2 kali [dan di saat yg kedua kalinya tewaslah Köhler]. Terjadi serbuan beruntun ke istana pada tanggal 16 April di bawah pimpinan Mayor F. P. Cavaljé namun tak dapat menduduki lebih lanjut karena keulungan orang Aceh serta banyaknya serdadu yg tewas & terluka. Serdadu Belanda tak cukup persiapan yg harus ada untuk serangan tersebut. Di samping itu, jumlah artileri [berat] tak cukup & mereka tak cukup mengenali musuh. Mereka sendiri harus menarik diri dari pesisir & atas petunjuk Komisaris F. N. Nieuwenhuijzen [yang menjalin komunikasi dengan GubJen Loudon] & kembali ke Pulau Jawa.
Menurut George Frederik Willem Borel, kapten artileri, serdadu dapat memperoleh pesisir bila mendapatkan titik lain yg agak lebih kuat, namun Komandan Marinir Koopman tak dapat memberikan kepastian bahwa ada hubungan yg teratur antara bantaran sungai & saat itu sedang berlangsung muson yg buruk, yg karena itulah kedatangan pasukan baru jadi sulit. Setelah kembalinya ekspedisi itu, angkatan tersebut banyak disalahkan akibat kegagalan ekspedisi itu. Dari situlah GubJen James Loudon mengadakan penyelidikan di mana para bawahan harus memberikan penilaian atas atasan mereka. Penyelidikan tersebut kemudian juga banyak menuai kontroversi & menimbulkan “perang kertas” sesudah Perang Aceh I [dokumen & tulisan pro & kontra penyelidikan tersebut terjadi terus menerus].
Penyelidikan itu masih berawal, sesudah Perang Aceh II, ketika kapten & kepala staf Brigade II GCE. van Daalen menolak untuk ditekan GubJen Loudon. Alasan sebelumnya ialah selama itu Loudon telah memerintahkan penyelidikan yg untuk itu pamannya EC. van Daalen, yg merupaken panglima tertinggi ekspedisi pertama sesudah kematian panglima tertinggi sebelumnya Johan Harmen Rudolf Kohler, sebagai orang jenius yg malang sesudah kegagalan ekspedisi tersebut, dihadirkan & selama penyelidikan itu [meskipun kemudian meninggal] Van Daalen, komandan Pasukan Hindia, Willem Egbert Kroesen mengetahui bahwa pemerintah Hindia-Belanda tak diberi cukup informasi atas terganggunya pembekalan senjata pada pasukan itu. Loudon tak mengizinkan Van Daalen [keponakan] mendapatkan Militaire Willems-Orde & untuk itu memandang bahwa Van Daalen harus terus dikirimi uang tunjangan pensiun. Raja Willem II mulai menganugerahkan Medali Aceh 1873-1874 pada tanggal 12 Mei 1874. Yang khas ialah pembawa medali tersebut juga dapat diberi gesper bertulisan “ATJEH 1873-1874 pada pita Ereteken voor Belangrijke Krijgsbedrijven. Terdapat pula salib Militaire Willems-Orde & Medaille voor Moed en Trouw.
Perang Aceh Kedua
Pada Perang Aceh Kedua [1874-1880], di bawah Jend. Jan van Swieten, Belanda berhasil menduduki Keraton Sultan, 26 Januari 1874, & dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda. 31 Januari 1874 Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa seluruh Aceh jadi bagian dari Kerajaan Belanda. Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawood yg dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indragiri.
Perang Aceh Kedua diumumkan oleh KNIL terhadap Aceh pada tanggal 20 November 1873 sesudah kegagalan serangan pertama. Pada saat itu, Belanda sedang mencoba menguasai seluruh Nusantara. Ekspedisi yg dipimpin oleh Jan van Swieten itu terdiri atas 8. 500 prajurit, 4. 500 pembantu & kuli, & belakangan ditambahkan 1. 500 pasukan. Pasukan Belanda & Aceh sama-sama menderita kolera. Sekitar 1. 400 prajurit kolonial meninggal antara bulan November 1873 sampai April 1874.
Setelah Banda Aceh ditinggalkan, Belanda bergerak pada bulan Januari 1874 & berpikir mereka telah menang perang. Mereka mengumumkan bahwa Kesultanan Aceh dibubarkan & dianeksasi. Namun, kuasa asing menahan diri ikut campur, sehingga masih ada serangan yg dilancarkan oleh pihak Aceh. Sultan Mahmud Syah & pengikutnya menarik diri ke bukit, & sultan meninggal di sana akibat kolera. Pihak Aceh mengumumkan cucu muda Tuanku Ibrahim yg bernama Tuanku Muhammad Daud Syah, sebagai Sultan Ibrahim Mansur Syah [berkuasa 1874-1903].
Perang pertama & kedua ini ialah perang total & frontal, dimana pemerintah masih berjalan mapan, meskipun ibu kota negara berpindah-pindah ke Keumala Dalam, Indrapuri, & tempat-tempat lain.
Perang Aceh Ketiga,
Perang ketiga [1881-1896], perang dilanjutkan secara gerilya & dikobarkan perang fisabilillah. Dimana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1904. Perang gerilya ini pasukan Aceh di bawah Teuku Umar bersama Panglima Polim & Sultan. Pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van der Dussen di Meulaboh, Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar kemudian tampil menjadi komandan perang gerilya.
Perang Aceh Keempat
Perang keempat [1896-1910] ialah perang gerilya kelompok & perorangan dengan perlawanan, penyerbuan, penghadangan & pembunuhan tanpa komando dari pusat pemerintahan Kesultanan.
Taktik Perang belanda Menghadapi Aceh
Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, dimana dibentuk pasukan maréchaussée yg dipimpin oleh Hans Christoffel dengan pasukan Colone Macan yg telah mampu & menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk mencari & mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh. Taktik berikutnya yg dilakukan Belanda ialah dengan cara penculikan anggota keluarga gerilyawan Aceh. Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan & Tengku Putroe [1902].
Van der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya, Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli & berdamai. Van der Maaten dengan diam-diam menyergap Tangse kembali, Panglima Polim dapat meloloskan diri, tetapi sebagai gantinya ditangkap putera Panglima Polim, Cut Po Radeu saudara perempuannya & beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya Panglima Polim meletakkan senjata & menyerah ke Lhokseumawe pada Desember 1903. Setelah Panglima Polim menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat yg menyerah mengikuti jejak Panglima Polim.
Taktik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yg dilakukan di bawah pimpinan Gotfried Coenraad Ernst van Daalen yg menggantikan Van Heutz. Seperti pembunuhan di Kuta Reh [14 Juni 1904] dimana 2. 922 orang dibunuhnya, yg terdiri dari 1. 773 laki-laki & 1. 149 perempuan. Taktik terakhir menangkap Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar yg masih melakukan perlawanan secara gerilya, dimana akhirnya Cut Nya Dien dapat ditangkap & diasingkan ke Sumedang.

Surat perjanjian tanda menyerah Pemimpin Aceh
Selama perang Aceh, Van Heutz telah menciptakan surat pendek [korte verklaring, Traktat Pendek] tentang penyerahan yg harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yg telah tertangkap & menyerah. Di mana isi dari surat pendek penyerahan diri itu berisikan, Raja [Sultan] mengakui daerahnya sebagai bagian dari daerah Hindia Belanda, Raja berjanji tak akan mengadakan hubungan dengan kekuasaan di luar negeri, berjanji akan mematuhi seluruh perintah-perintah yg ditetapkan Belanda.
Perjanjian pendek ini menggantikan perjanjian-perjanjian terdahulu yg rumit & panjang dengan para pemimpin setempat. Walau demikian, wilayah Aceh tetap tak bisa dikuasai Belanda seluruhnya, dikarenakan pada saat itu tetap saja terjadi perlawanan terhadap Belanda meskipun dilakukan oleh sekelompok orang [masyarakat]. Hal ini berlanjut sampai Belanda enyah dari Nusantara & diganti kedatangan penjajah baru yakni Jepang [Nippon].

 Akhir Perang Aceh
            Berdasarkan pengalaman Snouch Hurgronje, pada tahun 1899, Belanda mengirim Jenderal Van Heutsz untuk mengadakan serangan umum di Aceh Besar, Pidie dan Samalanga. Serangan umum di Aceh itu dikenal dengan Serangan Sapurata dari pasukan Marchausse (arsose) dengan anggota pasukannya erdiri dari orang-orang Indonesia yang sudah dilatih oleh Belanda. Pasukan inilah yang benar-benar telah mematahkan semangat juang para pejuang Aceh. Dalam serangan itu banyak putra-putra Aceh yang gugur. Sambil memberi perlawanan yang sengit, rakyat Aceh mundur ke pedalaman. Untuk menyerbu ke pedalaman. Untuk menyerbu ke pedalaman, Belanda mengirim pasukannya di bawah pimpinan Jendral Van Daalen. Rakyat Aceh ternyata tidak siap dan kurang perlengkapan sehingga laskar menjadi kocar-kacir dan terpaksa lari mengundurkan diri dari Medan pertempuran Gerilya.
Dalam waktu singkat Belanda merasa berhasil menguasai Aceh. Kemudian Belanda membuat Perjanjian Pendek, dimana kerajaan-kerajaan kecil terikat oleh perjanjian ini. Kerajaan-kerajaan kecil itu tunduk pada Belanda dan seluruh kedudukan politik diatur oleh Belanda, sehingga masing-masing kerajan daharuskan untuk:
Mengakui daerahnya sebagai bagian dari kekuasaan Belanda
Berjanji tidak akan berhubungan dengan suatu pemerintahan asing
Berjanji akan menaati perintah-perintah yang diberikan oleh pemerintah Belanda
Perjanjian pendek juga bertujuan untuk mengikat raja-raja kecil atau mengikat kepala-kepala daerah. Pemerintahan Belanda juga mengikat raja-raja yang besar kekuasaannya, diantaranya Deli Serdang, Asahan, langkat, Siak, dan sebagainya dengan suatu perjanjian.
Demikianlah perang yang terjadi di Aceh yang mengorbankan putra-putra tanah Aceh seperti Teungku Umar, Panglima Polim, eungki Cik di Tiro, Tjut Nyak Dien, Tjut Mutiah, Tuanku Muhammad Dawodsyah dan rakyat Aceh yang dapat kita anggap sebagai tokoh perjuangan kemerdekaan Bangsa Indonesia.
Dari uraian penjelasan di atas dapat diketahui dan disimpulkan bahwa ada dua sebab mengenai mengapa rakyat Aceh melakukan perlawanan kepada Portugis. Adapun sebab pertama yaitu Portugis oleh rakyat Aceh dianggap sebagai saingan mereka khususnya di dalam perihal perdagangan di kawasan sekitar Selat Malaka. Alasan selanjutnya yaitu Portugis ingin menyebarkan agama Katholik di wilayah Aceh. Ingin menyebarkan agama Katholik di wilayah Aceh sangat tidak bisa diterima oleh masyarakat Aceh. Hal tersebut dikarenakan Aceh merupakan sebuah kerajaan Islam. Dan Alasan terakhir yaitu rakyat Aceh ingin sekali mematahkan kekuatan Portugis di daerah Asia Tenggara.
Demikian makalah yang kami buat semoga bermanfaat untuk pembaca. Jika ada ksalahan atau lain nya mohon dimaaf kan.
            TERIMA KASIH……

Kasus kasus berat di Indonesia :

1.   Kasus genosida di Indonesia
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhsA-yIccJzZESlPyJxK6z6tvFQLwYeV0XGoM0QOishfAsr4CmCj86JznYRA7LpIxNuT4CDv9KYeQDgIM9x8fjLUa4adJnuT8fviZsk3UjuOiqlAk7MY_UHsYwottrWChgluXU3Ff8_TPwn/s1600/GAMBAR+GENOSIDA.jpg
        Indonesia sebagai Negara kesatuan yang terdiri dari ribuan pulau dan wilayah yang cukup besar memiliki banyak sekali budaya yang terdapat didalamnya. Bahkan di satu pulau dapat memiliki ratusan kebudayaan yang berbeda satu sama lain. Keanekaragaman ini merupakan suatu kelebihan namun tidak menutup adanya perselisihan antar kelompok etnis yang tumbuh tersebar di seluruh kawasan Indonesia. Hal itu dapat terlihat dari berbagai kasus Genosida yang terjadi sejauh sejarah berdirinya Indonesia.
Indonesia sebagai Negara kesatuan yang terdiri dari ribuan pulau dan wilayah yang cukup besar memiliki banyak sekali budaya yang terdapat didalamnya. Bahkan di satu pulau dapat memiliki ratusan kebudayaan yang berbeda satu sama lain. Keanekaragaman ini merupakan suatu kelebihan namun tidak menutup adanya perselisihan antar kelompok etnis yang tumbuh tersebar di seluruh kawasan Indonesia. Hal itu dapat terlihat dari berbagai kasus Genosida yang terjadi sejauh sejarah berdirinya Indonesia.
·                   Pembunuhan masal di Bandanaira (Pulau Banda) tahun 1621 oleh Belanda pada zaman Jan Pietersz Coen. Penduduk dipaksa untuk bekerja. Akibat pembunuhan tersebut belanda terpaksa mendatangkan budak dr Negara dan daerah lain. Jumlah pasti tidak diketahui. Dalam kesaksian disebut hamper semua penduduk meninggal, sebagian kecil melarikan diri.
·           Pembantaian pada zaman Kerja Tanam Paksa setelah Perang Jawa (18251830) dibawah kepemimpinan Jenderal Van den Bosch. Jumlah pasti korban tidak diketahui.  Tragedi pembantaian Jepang di Kalimantan. Tidak hanya kaum prokemerdekaan yg dibunuh tetapi juga para pemuka agama, pemuka golongan dan para Raja di zaman itu. Westerling di Sulawesi Selatan. Menurut mantan Diplomat RI, Manai Sophian, tercatat 40.000 orang meninggal meski Belanda mengklaim hanya 5000 orang yang meninggal.
·           Tragedi 1965. Setelah gerakan G30SPKI terjadi, gerakan ‘membersihkan’ komunis menggelora dimana-mana. Militer dikerahkan ke seluruh negri, Mereka yang dianggap pendukung komunis, dibantai, ditangkap, disiksa dan dibuang tanpa pernah ada pengadilan yang adil dan bukti yang jelas. Kebanyakan dari mereka yang ditangkap adalah buruh dan petani. Tragedi mei 1998 dimana etnis tionghoa mengalami pembantaian, pengrusakan properti, pemerkosaan dan penculikan.
·           Kerusuhan Sampit, (Februari 2001) Kalimantan Barat antara suku Dayak dan Suku Madura. Kebanyakan kasus Genosida yang terjadi sebelum masa kemerdekaan memiliki motif atau latar belakang kepentingan politik para penjajah di masa itu. Sedangkan kasus Genosida yang terjadi setelah kemerdekaan Indonesia seperti kasus G30SPKI dimana pembantaian dilakukan terhadap mereka yang menganut paham dan termasuk golongan komunis merupakan kasus Genosida dengan latar belakang faham atau golongan.
2.   Rentetan Pelanggaran HAM di Aceh
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhI_yMHrANTG3y1VDsIQ8NIveg-8CUq-2YcfKaSy8dgtrfiNr0n6SdHGuZa-P6g2iQfmQVyYBGfDcHs-GZs1pX2ebsdUDyad2ij0AXZ69E9CHevEQpK-69vOtUFP2XkuSJeIxc4IcxJ7QfU/s1600/Pelanggaran+HAM.jpg
Dalam pengusutan pelanggaran HAM tersebut, sejumlah penyelidik resmi dan pengumpulan fakta atas pelangaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Aceh telah melakukan pengusutan sejak bulan Juli 1998. Setiap penyelidikan ini mengumpulkan bukti-bukti dari ratusan kasus pelanggaran yang dilakukan sejak tahun 1989 dan mengindikasikan adanya keterlibatan aparat keamanan dalam pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi. Dalam  seminar yang bertema “Mengungkap Kebenaran Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Aceh” di Universitas Malikussaleh Lhokseumawe pada 2012 ada puluhan kali tim turun untuk mencari fakta dalam penyelesaian pelanggaran HAM, diantaranya adalah:
Pertama, pada Juli 1998: Tim Gabungan Pencari Fakta DPR dibentuk. Pada bulan Oktober 1998 tim ini mengumpulkan temuan sementaranya lebih dari 6.837 kasus pelanggaran HAM sejak 1989-1998. Kedua, Agustus 1998: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melakukan penyelidikan di Aceh. Laporan pendahuluannya menyebutkan telah menemukan bukti-bukti adanya, paling tidak 781 orang meninggal, 163 orang hilang, 368 kasus penyiksaan, dan 102 kasus pemerkosaan yang terjadi antara tahun 1989 dan 1998. Ketiga, Juli 1999: Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh (KIPTKA) dibentuk melalui sebuah instruksi presiden (masa pemerintahan Presiden Habibie). Dilaporkan bahwa komisi ini telah mengumpulkan keterangan mengenai 7000 kasus pelanggaran HAM di Aceh yang terjadi selama sepuluh tahun terakhir, meliputi diantaranya berupa pembunuhan diluar jalur hukum, penyiksaan, penghilangan paksa, penahanan sewenag-wenang, pemerkosaan dan tindak kekerasan seksual. Komisi tersebut merekomendasikan agar lima kasus segera diajukan ke pengadilan.Terakhir, Nopember 1999: kejaksaan Agung melakukan penyelidikan terhadap lima kasus yang direkomendasikan untuk diadili oleh KIPTKA. Lima kasus tersebut  masing-masing adalah kasus pemerkosaan di Pidie yang terjadi pada bulan Agustus 1996; kasus penyiksaan dan penghilangan paksa yang terjadi antara tahun 1997 dan 1998 disebuah tempat yang dikenal sebagai Rumoh Geudong di Pidie; pembunuhan diluar jalur hukum terhadap tujuh warga sipil di Idi Cut, Aceh Timur pada bulan Pebruari 1999; pembunuhan diluar jalur hukum terhadap 35 warga sipil di simpang KKA, Aceh Utara pada bulan Mei 1999; dan pembunuhan di luar jalur hukum terhadap seorang ulama (Tgk. Bantaqiah) dan para pengikutnya di desa Blang Meurandeh, Beutong Ateuh, Aceh Barat pada bulan Juli 1999.

3.   Kasus marsinah
http://gdb.voanews.com/69155E2E-AFAC-457A-B9B7-A1C6D0C2FDF6_mw1024_s_n.jpg
Marsinah bekerja sejak tamat SMA. Tuntutan hidup menyebabkannya melepas cita-cita melanjutkan studi di Fakultas Hukum. Ia berjualan nasi bungkus di sekitar pabrik tempatnya bekerja. Sebagai buruh, Marsinah harus beberapa kali pindah tempat kerja dari satu pabrik ke pabrik satunya. Gajinya jauh dari cukup. Pada 1990 ia bekerja di PT Catur Putra Surya (CPS) Rungkut, Surabaya. Di tempat inilah nalar kritik Marsinah mulai muncul. Ia tidak pernah menjadi anggota aktivis buruh. Bersama teman-temannya, Marsinah menuntut pembentukan unit serikat pekerja formal (SPSI). Keterlibatannya dalam aksi itu menjadikan alasan pemindahannya ke pabrik PT CPS di Porong, Sidoarjo pada 1992.
Di Sidoarjo ia aktif membela hak buruhyang terlibat pemogokan. Ia mengirim surat ke pihak perusahaan atas pemanggilan oleh pihak Kodim yang berujung pemecatan secara paksa terhadap 11 orang buruh. Ia berencana mengadukan kasus itu kepada pamannya yang berprofesi sebagai Jaksa di Surabaya. Tetapi rencananya tidak sempat terwujud karena pembunuhan terhadap dirinya.
Kematian Marsinah meninggalkan misteri. Yudi Susanto sebagai pemilik perusahaan tempat Marsinah  bekerja dan beberapa orang staf yang dituduh membunuhnya, divonis bebas murni dari hukuman oleh Pengadilan Tinggi Surabaya dan Mahkamah Agung. Hasil penyidikan menyebutkan bahwa tiga hari sebelum dinyatakan tewas, Marsinah sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang ditahan pihak Kodim.
Sekitar pukul 10 malam tanggal 6 Mei 1993, Marsinah “hilang” sampai kemudian ditemukan dalam keadaan tewas. Hingga kini belum ada upaya serius untuk membongkar kematian Marsinah.
Kasus Marsinah menjadi salah satu bentuk pelanggaran HAM berat yang terjadi selama pemerintahan Orde Baru. Kasus yang menimpa Marsinah ini kemudian kembali terjadi di tahun 1997 yang menimpa seorang wartawan Harian Bernas bernama Fuad M. Syarifuddin alias Udin. Pada 1993 Yayasan Pusat Hak Asasi Manusia menganugerahinya Yap Tiam Hiem Award.
Keadilan masih temaram dalam kasus Marsinah.
4.  Kasus-kasus di papua

Lima kekerasan tersebut, kebanyakan dilakukan aparatur Kepolisian dan TNI. Kelimanya yakni penembakan yang terjadi di Gereja Betlehen Pantekosta di Boven Digoel, yang menewaskan Pendeta Federika Metelmetti, 38 tahun, pada 22 November 2012.

Temuan kedua, penembakan dan penangkapan empat warga di Timika. Keempatnya yakni Yopy Kwalik (30), Arianus Amisim (18), Yance Tsugumo (28), dan Yoppi Elobo (20). Arianus ditahan di Polres Mile 32 Mimika, Papua. Sejak itu, masyarakat setempat mengungsi ke hutan dan banyak yang belum kembali. KontraS menemukan, kabar yang beredar di warga, polisi mengintimidasi dan menyiksa 14 warga di sana.

Temuan ketiga, yakni penyiksaan warga sipil, Frengki Uamang, pada 27 November 2012. Ia ditangkap, ditahan, dan terus menerus disiksa. Polisi menuduh Frengki mau membeli senjata lipat, ketika Frengki hendak menyiapkan syukuran di Gereja Kemah Injil.

Temuan keempat, yakni tewasnya Timotius AP. Timo yang hilang beberapa hari, mendadak 'dipulangkan' polisi pada 4 Desember 2012. Di jenazah Timo, ada bekas jahitan di perut, yang diduga dilakukan polisi untuk mengeluarkan peluru. Keesokan harinya, Kepolisian Daerah Papua mengeluarkan rilis. Isi rilisnya, Timo benar ditembak anggota polisi, lantaran Timo terlebih dahulu menodongkan senjatanya.

"Tembakan polisi itu tujuannya sebagai tembakan peringatan. Tapi malah menewaskan Timo. Ini aneh," ujar Sri.

Temuan kelima, yakni penembakan yang dilakukan aparatur TNI dan Kepolisian di kampung Milima, DIstrik Kurulu, pada 16 Desember 2012. Warga sipil, Natalis Alua (34) tewas setelah sempat dirawat di UGD Wamena. Tak hanya Natalis yang jadi korban. Aktivis KNPB, Hubertus Mabel (32), tewas di rumah sakit setelah ditembak di kampung Abusak, Kurulu. Pasca-penembakan, warga berbondong-bondong meninggalkan kampung karena takut.

Temuan keenam, yakni penyiksaan terhadap tahanan politik Kanius Murib. Kanius ialah tahanan di Wamena. Sudah lama Kanius sakit, tapi tak segera dicarikan dokter yang kompeten. "Catatan kami, selama korban ditahan, ia 22 kali sakit. Dokter tak pernah berikan penjelasan kepada keluarga," ujar Sri. 11 Desember 2012, Kanius meninggal di rumahnya. Ketika hampir menemui ajal, dia dikembalikan dengan kondisi tubuh yang buruk. Diduga, Kanius disiksa.
pelanggaran ham yang ringan di Indonesia :

KASUS KEKERASAN :
 Selain itu kasus-kasus yang  disebutkan di atas, masih ada kasus-kasus lain yang merupakan bagian dari peristiwa-peristiwa kekerasan yang berlangsung sehari-hari berdasarkan pemantauan Kontras antara Juli hingga  Desember 1999 sebagai berikut: Antara 4 Juli 1999-25 Desember 1999 setidaknya ada 194 warga sipil yang menjadi korban kekerasan Aparat Keamanan, 22 diantaranya tewas dan 172 luka-luka ringan dan berat; Antara 19 Oktober-25 Desember 1999, setidaknya 290 korban pembunuhan misterius umunya dengan pola petrus (penembak misterius), menelan korban sebanyak: 239 sipil tewas dan 10 luka-luka dan sisanya sekitar 51 jiwa non-sipil;      Antara 16 April 1999-25 Desember 1999, setidaknya 902 unit bangunan   terbakar, terdiri dari Sekolah, kantor Camat dan gedung pemerintahan lainnya, dari sekian jumlah tersebut, sekitar 80 persen atau 132 unit adalah bangunan sekolah dan sekita 191 bangunan dibakar oleh aparat keamanan dalam operasi sweeping; Antara 5 Agustus-25 Desember 1999 setidaknya 128 orang (105 sipil dan sisanya militer) hilang diculik dan sebagian dari mereka ditemukan dalam keadaan tewas yang mengenaskan;   2001 bawah operasi Rajawali ada 1216 kasus pelanggaran HAM, operasi ini dilakukan untuk menemukan langkah komperhensif  dalam menyelesaikan masalah Aceh berdasarkan Inpres No 4/2001 di tengah-tengah Jeda Kemanusiaan; 2003-2004 Darurat Militer I dan II ada 1.326 kasus pelanggaran HAM, Kegagalan perundingan damai antara RI dan GAM direspon dengan kebijakan darurat militer, masa ini penyelesaian HAM sejumlah anggota TNI rendah dihukum. Statusnya diturunkan menjadi Darurat Sipil sampai sekarang.