KELOMPOK 1

![]() |
|||
![]() |
DISUSUN
OLEH:
LIKA NURMALIKA ( 27 )
MAULIDYA PUTRI ( 31 )
XI PEMASARAN 1
SMK NEGERI 44 JAKARTA PUSAT
1.
Perlawanan
Rakyat Nusantara Aceh


Muhammad
Daud Syah Johan


Sultan Iskandar Muda (1593-1636) dan
Cut Nyak Dien




kerajaan aceh dan Kherkoff Peucut adalah
kompleks kuburan perwira Belanda yang tewas dalam perang Aceh, jumlahnya
mencapai 2000 lebih nisan yang tersimpan di dalamnya.

Para penjajah dari portugis
A.
Aceh
Melawan Portugis

Seperti yang telah
diketahui bahwa bangsa Eropa yang pertama kali datang ke Indonesia adalah
bangsa Portugis. Kedatangan bangsa Portugis ke Indonesia sangatlah ditentang
keras oleh penguasa dan rakyat Indonesia pada waktu itu, terutama masyarakat
Malaka dan juga masyarakat Aceh. Bahkan pada waktu, Sultan Aceh menganggap
bahwa Portugis merupakan saingan dalam berpolitik, ekonomi dan atau bahkan
dalam hal penyebaran agama. Anggapan Sultan Aceh terhadap bangsa Portugis
tersebut didasarkan pada informasi yang telah ia dapatkan dari Sultan di
Malaka, yang telah dijajah sebelumnya.
Perlawanan rakyat Aceh terhadap bangsa Portugis mencapai puncaknya pada waktu Aceh dipimpin oleh kesultanan Aceh, Sultan Iskandar Muda (1607- 1636). Ada berbagai cara yang telah dilakukan oleh Kesultanan Aceh tersebut untuk melumpuhkan kekuatan bangsa Portugis, salah satunya yaitu dengan cara memblokade perdagangan. Pemblokadean perdagangan yang dimaksud adalah dengan cara melarang rakyat Aceh untuk menjual lada dan timah kepada Bangsa Portugis.
Dengan cara yang telah kesultanan Aceh, Sultan Iskandar Muda, lakukan ternyata membuahkan hasil yang mana kekuatan bangsa Portugis bisa dilumpuhkan. Namun hasil tersebut tidaklah begitu sempurna. Hal tersebut dikarenakan, penguasa- penguasa kecil Malaka secara sembunyi- sembunyi menjual lada dan timah mereka ke bangsa Portugis. Adapun alasan kenapa penguasa- penguasa kecil Malaka menjual dagangannya ke Portugis yaitu karena mereka membutuhkan uang.
Kesultanan Aceh, Sultan Iskandar Muda, merasa taktik pemblokadean perdagangan di wilayahnya sebagai cara untuk melumpuhkan Portugis ternyata tidaklah sempurna hasilnya. Maka Sultan Iskandar Muda pun menyerang kedudukan Portugis yang pada saat itu masih berpusat di Malaka pada tahun 1629. Sultan Iskandar Muda tersebut kemudian mengerahkan seluruh kekuatan tentara Aceh untuk mengalahkan Portugis. Namun sayangnya, usaha yang di lakukan oleh kesultanan Aceh tersebut mengalami kegagalan, bahkan pasukan tentara yang telah dikerahkan oleh Sultan Iskandar Muda dapat dipukul mundur oleh pasukan Portugis.
Adapun raja- raja Aceh yang memimpin masyarakat untuk melakukan perlawanan kepada Portugis yaitu Sultan Ali Mughayat Syah , Sultan Alaudin Riayat Syah, dan tak lupa pula sultan Iskandar Muda. Raja- Raja tersebutlah yang memberikan semangat juang kepada rakyatnya, agar tidak di jajah atau dikuasai oleh pihak luar, termasuk Portugis.
Perlawanan rakyat Aceh terhadap bangsa Portugis mencapai puncaknya pada waktu Aceh dipimpin oleh kesultanan Aceh, Sultan Iskandar Muda (1607- 1636). Ada berbagai cara yang telah dilakukan oleh Kesultanan Aceh tersebut untuk melumpuhkan kekuatan bangsa Portugis, salah satunya yaitu dengan cara memblokade perdagangan. Pemblokadean perdagangan yang dimaksud adalah dengan cara melarang rakyat Aceh untuk menjual lada dan timah kepada Bangsa Portugis.
Dengan cara yang telah kesultanan Aceh, Sultan Iskandar Muda, lakukan ternyata membuahkan hasil yang mana kekuatan bangsa Portugis bisa dilumpuhkan. Namun hasil tersebut tidaklah begitu sempurna. Hal tersebut dikarenakan, penguasa- penguasa kecil Malaka secara sembunyi- sembunyi menjual lada dan timah mereka ke bangsa Portugis. Adapun alasan kenapa penguasa- penguasa kecil Malaka menjual dagangannya ke Portugis yaitu karena mereka membutuhkan uang.
Kesultanan Aceh, Sultan Iskandar Muda, merasa taktik pemblokadean perdagangan di wilayahnya sebagai cara untuk melumpuhkan Portugis ternyata tidaklah sempurna hasilnya. Maka Sultan Iskandar Muda pun menyerang kedudukan Portugis yang pada saat itu masih berpusat di Malaka pada tahun 1629. Sultan Iskandar Muda tersebut kemudian mengerahkan seluruh kekuatan tentara Aceh untuk mengalahkan Portugis. Namun sayangnya, usaha yang di lakukan oleh kesultanan Aceh tersebut mengalami kegagalan, bahkan pasukan tentara yang telah dikerahkan oleh Sultan Iskandar Muda dapat dipukul mundur oleh pasukan Portugis.
Adapun raja- raja Aceh yang memimpin masyarakat untuk melakukan perlawanan kepada Portugis yaitu Sultan Ali Mughayat Syah , Sultan Alaudin Riayat Syah, dan tak lupa pula sultan Iskandar Muda. Raja- Raja tersebutlah yang memberikan semangat juang kepada rakyatnya, agar tidak di jajah atau dikuasai oleh pihak luar, termasuk Portugis.
Setelah
Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, justru membawa hikmah bagi
Aceh. Banyak para pedagang Islam yang menyingkir dari Malaka menuju ke Aceh.
Dengan demikian perdagangan di Aceh semakin ramai. Hal ini telah mendorong Aceh
berkembang menjadi bandar dan pusat perdagangan. Perkembangan Aceh yang begitu pesat
ini dipandang oleh Portugis sebagai ancaman, oleh karena itu, Portugis
berkehendak untuk menghancurkan Aceh. Pada tahun 1523 Portugis melancarkan
serangan ke Aceh di bawah pimpinan Henrigues, dan menyusul pada tahun 1524
dipimpin oleh de Sauza. Beberapa serangan Portugis ini mengalami kegagalan.
Portugis
terus mencari cara untuk melemahkan posisi Aceh sebagai pusat perdagangan.
Kapal-kapal Portugis selalu mengganggu kapal-kapal dagang Aceh di manapun
berada. Misalnya, pada saat kapal-kapal dagang Aceh sedang berlayar di Laut
Merah pada tahun 1524/1525 diburu oleh kapal kapal Portugis untuk ditangkap.
Sudah barang tentu tindakan Portugis telah merampas kedaulatan Aceh yang ingin
bebas dan berdaulat berdagang dengan siapa saja, mengadakan hubungan dengan
bangsa manapun atas dasar persamaan. Oleh karena itu, tindakan kapal-kapal
Potugis telah mendorong munculnya perlawanan rakyat Aceh. Sebagai persiapan
Aceh melakukan langkah-langkah antara lain:
1.
Melengkapi
kapal-kapal dagang Aceh dengan persenjataan, meriam dan prajurit
2.
Mendatangkan
bantuan persenjataan, sejumlah tentara dan beberapa ahli dari Turki pada tahun
1567.
3.
Mendatangkan
bantuan persenjataan dari Kalikut dan Jepara.
Setelah
berbagai bantuan berdatangan, Aceh segera melancarkan serangan terhadap
Portugis di Malaka. Portugis harus bertahan mati-matian di Formosa/ Benteng.
Portugis harus mengerahkan semua kekuatannya sehingga serangan Aceh ini dapat
digagalkan. Sebagai tindakan balasan pada tahun 1569 Portugis balik menyerang
Aceh, tetapi serangan Portugis di Aceh ini juga dapat digagalkan oleh pasukan
Aceh.
Sementara
itu, Portugis mempunyai rencana terhadap Aceh sebagai berikut :
1.
Menghancurkan
Aceh dengan jalan mengepungnya selama 3 tahun.
2.
Setiap
kapal yang berlayar di selat Malaka akan disergap dan dihancurkan.
Rakyat
Aceh dan para pemimpinnya selalu ingin memerangi kekuatan dan dominasi asing,
oleh karena itu, jiwa dan semangat juang untuk mengusir Portugis dari Malaka
tidak pernah padam. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1639),
semangat juang mempertahankan tanah air dan mengusir penjajahan asing semakin
meningkat. Iskandar Muda adalah raja yang gagah berani dan bercita-cita untuk
mengenyahkan penjajahan asing, termasuk mengusir Portugis dari Malaka. Iskandar
Muda berusaha untuk melipatgandakan kekuatan pasukannya. Angkatan lautnya
diperkuat dengan kapal-kapal besar yang dapat mengangkut 600-800 prajurit.
Pasukan kavaleri dilengkapi dengan kuda-kuda dari Persia, bahkan Aceh juga
menyiapkan pasukan gajah dan milisi infanteri. Sementara itu untuk mengamankan
wilayahnya yang semakin luas meliputi Sumatera Timur dan Sumatera Barat,
ditempatkan para pengawas di jalur-jalur perdagangan.
Para
pengawas itu ditempatkan di pelabuhan-pelabuhan penting seperti di Pariaman.
Para pengawas itu umumnya terdiri para panglima perang. Setelah mempersiapkan
pasukannya, pada tahun 1629 Iskandar Muda melancarkan serangan ke Malaka.
Menghadapi serangan kali ini Portugis sempat kewalahan. Portugis harus
mengerahkan semua kekuatan tentara dan persenjataan untuk menghadapi pasukan
Iskandar Muda. Namun, serangan Aceh kali ini juga tidak berhasil mengusir
Portugis dari Malaka. Hubungan Aceh dan Portugis semakin memburuk.
Bentrokan-bentrokan antara kedua belah pihak masih sering terjadi, tetapi
Portugis tetap tidak berhasil menguasai Aceh dan begitu juga Aceh tidak
berhasil mengusir Portugis dari Malaka. Yang berhasil mengusir Portugis dari
Malaka adalah VOC pada tahun 1641.
B. Sejarah
Perang Aceh Melawan Belanda, 1873-1904

Perang
Aceh ialah perang Kesultanan Aceh melawan Belanda dimulai pada 1873 sampai
1904. Kesultanan Aceh menyerah pada 1904, tapi perlawanan rakyat Aceh dengan
perang gerilya terus berlanjut. Pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda menyatakan
perang kepada Aceh, & mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari
kapal perang Citadel van Antwerpen.
Pada 8
April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Johan Harmen
Rudolf Köhler, & langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman. Köhler
saat itu membawa 3. 198 tentara. Sebanyak 168 di antaranya para perwira.
Penyebab
Terjadinya Perang Aceh
Perang
Aceh disebabkan karena:
Belanda
menduduki daerah Siak. Akibat dari Perjanjian Siak 1858. Di mana Sultan Ismail
menyerahkan daerah Deli, Langkat, Asahan & Serdang kepada Belanda, padahal
daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda, berada di bawah kekuasaan Aceh.
Belanda
melanggar perjanjian Siak, maka berakhirlah perjanjian London tahun 1824. Isi
perjanjian London ialah Belanda & Britania Raya membuat ketentuan tentang
batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dengan garis lintang
Singapura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh.
Aceh
menuduh Belanda tak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yg lewat
perairan Aceh ditenggelamkan oleh pasukan Aceh. Perbuatan Aceh ini didukung
Britania.
Dibukanya
Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps. Menyebabkan perairan Aceh menjadi
sangat penting untuk lalu lintas perdagangan.
Ditandatanganinya
Perjanjian London 1871 antara Inggris & Belanda, yg isinya, Britania
memberikan keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda
harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Malaka. Belanda mengizinkan Britania
bebas berdagang di Siak & menyerahkan daerahnya di Guyana Barat kepada
Britania.
Akibat
perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul
Amerika Serikat, Kerajaan Italia, Kesultanan Usmaniyah di Singapura. Dan
mengirimkan utusan ke Turki Usmani pada tahun 1871.
Akibat
hubungan diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika, Italia & Turki di
Singapura, Belanda menjadikan itu sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil
Presiden Dewan Hindia Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen dengan 2 kapal perangnya
datang ke Aceh & meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tentang apa yg
sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk
memberikan keterangan.
Strategi
Siasat Snouck Hurgronje Mata-mata Belanda
Untuk
mengalahkan pertahanan & perlawan Aceh, Belanda memakai tenaga ahli Dr.
Christiaan Snouck Hurgronje yg menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk
meneliti kemasyarakatan & ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan
dengan judul Rakyat Aceh [De Acehers]. Dalam buku itu disebutkan strategi
bagaimana untuk menaklukkan Aceh. Usulan strategi Snouck Hurgronje kepada
Gubernur Militer Belanda Joannes Benedictus van Heutsz adalah, supaya golongan
Keumala [yaitu Sultan yg berkedudukan di Keumala] dengan pengikutnya
dikesampingkan dahulu.
Tetap
menyerang terus & menghantam terus kaum ulama. Jangan mau berunding dengan
pimpinan-pimpinan gerilya. Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya. Menunjukkan
niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan langgar, masjid,
memperbaiki jalan-jalan irigasi & membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.
Ternyata siasat Dr Snouck Hurgronje diterima oleh Van Heutz yg menjadi Gubernur
militer & sipil di Aceh [1898-1904]. Kemudian Dr Snouck Hurgronje diangkat
sebagai penasehatnya.
Kronologi
Perang Aceh Pertama
Perang
Aceh
Pertama [1873-1874] dipimpin oleh Panglima Polim & Sultan Mahmud Syah
melawan Belanda yg dipimpin Köhler. Köhler dengan 3000 serdadunya dapat
dipatahkan, dimana Köhler sendiri tewas pada tanggal 14 April 1873. Sepuluh
hari kemudian, perang berkecamuk di mana-mana. Yang paling besar saat merebut
kembali Masjid Raya Baiturrahman, yg dibantu oleh beberapa kelompok pasukan.
Ada di Peukan Aceh, Lambhuk, Lampu’uk, Peukan Bada, sampai Lambada, Krueng
Raya. Beberapa ribu orang juga berdatangan dari Teunom, Pidie, Peusangan, &
beberapa wilayah lain. Perang Aceh Pertama ialah ekspedisi Belanda terhadap
Aceh pada tahun 1873 yg bertujuan mengakhiri Perjanjian London 1871, yg
menindaklanjuti traktat dari tahun 1859 [diputuskan oleh Jan van Swieten].
Melalui pengesahan Perjanjian Sumatera, Belanda berhak mendapatkan pantai utara
Sumatera yg di situ banyak terjadi perompakan. Komisaris Pemerintah Frederik
Nicolaas Nieuwenhuijzen yg mengatur Aceh mencoba mengadakan perundingan dengan
Sultan Aceh namun tak mendapatkan apa yg diharapkan sehingga ia menyatakan
perang pada Aceh atas saran GubJen James Loudon. Blokade pesisir tak berjalan
sesuai yg diharapkan.
Belanda
kemudian memerintahkan ekspedisi pertama ke Aceh, di bawah pimpinan Jenderal
Johan Harmen Rudolf Köhler & sesudah kematiannya tugasnya digantikan oleh
Kolonel Eeldert Christiaan van Daalen. Dalam ekspedisi tersebut dipergunakan
senapan Beaumont untuk pertama kalinya namun ekspedisi tersebut berakhir dengan
kembalinya pasukan Belanda ke Jawa. Tak dapat disangkal bahwa Masjid Raya
Baiturrahman direbut 2 kali [dan di saat yg kedua kalinya tewaslah Köhler].
Terjadi serbuan beruntun ke istana pada tanggal 16 April di bawah pimpinan
Mayor F. P. Cavaljé namun tak dapat menduduki lebih lanjut karena keulungan
orang Aceh serta banyaknya serdadu yg tewas & terluka. Serdadu Belanda tak
cukup persiapan yg harus ada untuk serangan tersebut. Di samping itu, jumlah
artileri [berat] tak cukup & mereka tak cukup mengenali musuh. Mereka
sendiri harus menarik diri dari pesisir & atas petunjuk Komisaris F. N.
Nieuwenhuijzen [yang menjalin komunikasi dengan GubJen Loudon] & kembali ke
Pulau Jawa.
Menurut
George Frederik Willem Borel, kapten artileri, serdadu dapat memperoleh pesisir
bila mendapatkan titik lain yg agak lebih kuat, namun Komandan Marinir Koopman
tak dapat memberikan kepastian bahwa ada hubungan yg teratur antara bantaran
sungai & saat itu sedang berlangsung muson yg buruk, yg karena itulah
kedatangan pasukan baru jadi sulit. Setelah kembalinya ekspedisi itu, angkatan
tersebut banyak disalahkan akibat kegagalan ekspedisi itu. Dari situlah GubJen
James Loudon mengadakan penyelidikan di mana para bawahan harus memberikan
penilaian atas atasan mereka. Penyelidikan tersebut kemudian juga banyak menuai
kontroversi & menimbulkan “perang kertas” sesudah Perang Aceh I [dokumen &
tulisan pro & kontra penyelidikan tersebut terjadi terus menerus].
Penyelidikan
itu masih berawal, sesudah Perang Aceh II, ketika kapten & kepala staf
Brigade II GCE. van Daalen menolak untuk ditekan GubJen Loudon. Alasan
sebelumnya ialah selama itu Loudon telah memerintahkan penyelidikan yg untuk
itu pamannya EC. van Daalen, yg merupaken panglima tertinggi ekspedisi pertama
sesudah kematian panglima tertinggi sebelumnya Johan Harmen Rudolf Kohler,
sebagai orang jenius yg malang sesudah kegagalan ekspedisi tersebut, dihadirkan
& selama penyelidikan itu [meskipun kemudian meninggal] Van Daalen,
komandan Pasukan Hindia, Willem Egbert Kroesen mengetahui bahwa pemerintah
Hindia-Belanda tak diberi cukup informasi atas terganggunya pembekalan senjata
pada pasukan itu. Loudon tak mengizinkan Van Daalen [keponakan] mendapatkan
Militaire Willems-Orde & untuk itu memandang bahwa Van Daalen harus terus
dikirimi uang tunjangan pensiun. Raja Willem II mulai menganugerahkan Medali
Aceh 1873-1874 pada tanggal 12 Mei 1874. Yang khas ialah pembawa medali
tersebut juga dapat diberi gesper bertulisan “ATJEH 1873-1874″ pada
pita Ereteken voor Belangrijke Krijgsbedrijven. Terdapat pula salib Militaire
Willems-Orde & Medaille voor Moed en Trouw.
Perang
Aceh Kedua
Pada
Perang Aceh Kedua [1874-1880], di bawah Jend. Jan van Swieten, Belanda berhasil
menduduki Keraton Sultan, 26 Januari 1874, & dijadikan sebagai pusat
pertahanan Belanda. 31 Januari 1874 Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa
seluruh Aceh jadi bagian dari Kerajaan Belanda. Ketika Sultan Machmud Syah
wafat 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawood yg dinobatkan
sebagai Sultan di masjid Indragiri.
Perang
Aceh Kedua diumumkan oleh KNIL terhadap Aceh pada tanggal 20 November 1873
sesudah kegagalan serangan pertama. Pada saat itu, Belanda sedang mencoba
menguasai seluruh Nusantara. Ekspedisi yg dipimpin oleh Jan van Swieten itu
terdiri atas 8. 500 prajurit, 4. 500 pembantu & kuli, & belakangan
ditambahkan 1. 500 pasukan. Pasukan Belanda & Aceh sama-sama menderita
kolera. Sekitar 1. 400 prajurit kolonial meninggal antara bulan November 1873
sampai April 1874.
Setelah
Banda Aceh ditinggalkan, Belanda bergerak pada bulan Januari 1874 &
berpikir mereka telah menang perang. Mereka mengumumkan bahwa Kesultanan Aceh
dibubarkan & dianeksasi. Namun, kuasa asing menahan diri ikut campur,
sehingga masih ada serangan yg dilancarkan oleh pihak Aceh. Sultan Mahmud Syah
& pengikutnya menarik diri ke bukit, & sultan meninggal di sana akibat
kolera. Pihak Aceh mengumumkan cucu muda Tuanku Ibrahim yg bernama Tuanku
Muhammad Daud Syah, sebagai Sultan Ibrahim Mansur Syah [berkuasa 1874-1903].
Perang
pertama & kedua ini ialah perang total & frontal, dimana pemerintah
masih berjalan mapan, meskipun ibu kota negara berpindah-pindah ke Keumala Dalam,
Indrapuri, & tempat-tempat lain.
Perang
Aceh Ketiga,
Perang
ketiga [1881-1896], perang dilanjutkan secara gerilya & dikobarkan perang
fisabilillah. Dimana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1904.
Perang gerilya ini pasukan Aceh di bawah Teuku Umar bersama Panglima
Polim & Sultan. Pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak
Van der Dussen di Meulaboh, Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nyak Dhien istri Teuku
Umar kemudian tampil menjadi komandan perang gerilya.
Perang
Aceh Keempat
Perang
keempat [1896-1910] ialah perang gerilya kelompok & perorangan dengan
perlawanan, penyerbuan, penghadangan & pembunuhan tanpa komando dari pusat
pemerintahan Kesultanan.
Taktik
Perang belanda Menghadapi Aceh
Taktik
perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, dimana dibentuk pasukan maréchaussée
yg dipimpin oleh Hans Christoffel dengan pasukan Colone Macan yg telah
mampu & menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk
mencari & mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh. Taktik berikutnya yg
dilakukan Belanda ialah dengan cara penculikan anggota keluarga gerilyawan
Aceh. Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan & Tengku Putroe
[1902].
Van
der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya, Sultan menyerah
pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli & berdamai. Van der Maaten dengan
diam-diam menyergap Tangse kembali, Panglima Polim dapat meloloskan diri,
tetapi sebagai gantinya ditangkap putera Panglima Polim, Cut Po Radeu saudara
perempuannya & beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya Panglima Polim
meletakkan senjata & menyerah ke Lhokseumawe pada Desember 1903. Setelah
Panglima Polim menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat yg menyerah mengikuti
jejak Panglima Polim.
Taktik
selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yg dilakukan di bawah
pimpinan Gotfried Coenraad Ernst van Daalen yg menggantikan Van Heutz. Seperti
pembunuhan di Kuta Reh [14 Juni 1904] dimana 2. 922 orang dibunuhnya, yg
terdiri dari 1. 773 laki-laki & 1. 149 perempuan. Taktik terakhir menangkap
Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar yg masih melakukan perlawanan secara
gerilya, dimana akhirnya Cut Nya Dien dapat ditangkap & diasingkan ke
Sumedang.
Surat
perjanjian tanda menyerah Pemimpin Aceh
Selama
perang Aceh, Van Heutz telah menciptakan surat pendek [korte verklaring,
Traktat Pendek] tentang penyerahan yg harus ditandatangani oleh para pemimpin
Aceh yg telah tertangkap & menyerah. Di mana isi dari surat pendek
penyerahan diri itu berisikan, Raja [Sultan] mengakui daerahnya sebagai bagian
dari daerah Hindia Belanda, Raja berjanji tak akan mengadakan hubungan dengan
kekuasaan di luar negeri, berjanji akan mematuhi seluruh perintah-perintah yg
ditetapkan Belanda.
Perjanjian
pendek ini menggantikan perjanjian-perjanjian terdahulu yg rumit & panjang
dengan para pemimpin setempat. Walau demikian, wilayah Aceh tetap tak bisa
dikuasai Belanda seluruhnya, dikarenakan pada saat itu tetap saja terjadi
perlawanan terhadap Belanda meskipun dilakukan oleh sekelompok orang [masyarakat].
Hal ini berlanjut sampai Belanda enyah dari Nusantara & diganti kedatangan
penjajah baru yakni Jepang [Nippon].
Akhir Perang Aceh
Berdasarkan pengalaman Snouch Hurgronje, pada tahun 1899, Belanda mengirim Jenderal Van Heutsz untuk mengadakan serangan umum di Aceh Besar, Pidie dan Samalanga. Serangan umum di Aceh itu dikenal dengan Serangan Sapurata dari pasukan Marchausse (arsose) dengan anggota pasukannya erdiri dari orang-orang Indonesia yang sudah dilatih oleh Belanda. Pasukan inilah yang benar-benar telah mematahkan semangat juang para pejuang Aceh. Dalam serangan itu banyak putra-putra Aceh yang gugur. Sambil memberi perlawanan yang sengit, rakyat Aceh mundur ke pedalaman. Untuk menyerbu ke pedalaman. Untuk menyerbu ke pedalaman, Belanda mengirim pasukannya di bawah pimpinan Jendral Van Daalen. Rakyat Aceh ternyata tidak siap dan kurang perlengkapan sehingga laskar menjadi kocar-kacir dan terpaksa lari mengundurkan diri dari Medan pertempuran Gerilya.
Dalam waktu singkat Belanda merasa berhasil menguasai Aceh. Kemudian Belanda membuat Perjanjian Pendek, dimana kerajaan-kerajaan kecil terikat oleh perjanjian ini. Kerajaan-kerajaan kecil itu tunduk pada Belanda dan seluruh kedudukan politik diatur oleh Belanda, sehingga masing-masing kerajan daharuskan untuk:
Mengakui daerahnya sebagai bagian dari kekuasaan Belanda
Berjanji tidak akan berhubungan dengan suatu pemerintahan asing
Berjanji akan menaati perintah-perintah yang diberikan oleh pemerintah Belanda
Perjanjian pendek juga bertujuan untuk mengikat raja-raja kecil atau mengikat kepala-kepala daerah. Pemerintahan Belanda juga mengikat raja-raja yang besar kekuasaannya, diantaranya Deli Serdang, Asahan, langkat, Siak, dan sebagainya dengan suatu perjanjian.
Demikianlah perang yang terjadi di Aceh yang mengorbankan putra-putra tanah Aceh seperti Teungku Umar, Panglima Polim, eungki Cik di Tiro, Tjut Nyak Dien, Tjut Mutiah, Tuanku Muhammad Dawodsyah dan rakyat Aceh yang dapat kita anggap sebagai tokoh perjuangan kemerdekaan Bangsa Indonesia.
Dari uraian penjelasan di atas dapat
diketahui dan disimpulkan bahwa ada dua sebab mengenai mengapa rakyat Aceh
melakukan perlawanan kepada Portugis. Adapun sebab pertama yaitu Portugis oleh
rakyat Aceh dianggap sebagai saingan mereka khususnya di dalam perihal
perdagangan di kawasan sekitar Selat Malaka. Alasan selanjutnya yaitu Portugis
ingin menyebarkan agama Katholik di wilayah Aceh. Ingin menyebarkan agama
Katholik di wilayah Aceh sangat tidak bisa diterima oleh masyarakat Aceh. Hal
tersebut dikarenakan Aceh merupakan sebuah kerajaan Islam. Dan Alasan terakhir
yaitu rakyat Aceh ingin sekali mematahkan kekuatan Portugis di daerah Asia
Tenggara.
Demikian makalah yang kami buat semoga
bermanfaat untuk pembaca. Jika ada ksalahan atau lain nya mohon dimaaf kan.
TERIMA KASIH……
Tidak ada komentar:
Posting Komentar