Kasus kasus berat di Indonesia :
1. Kasus genosida di Indonesia

Indonesia sebagai Negara kesatuan yang terdiri dari ribuan pulau dan
wilayah yang cukup besar memiliki banyak sekali budaya yang terdapat
didalamnya. Bahkan di satu pulau dapat memiliki ratusan kebudayaan yang berbeda
satu sama lain. Keanekaragaman ini merupakan suatu kelebihan namun tidak
menutup adanya perselisihan antar kelompok etnis yang tumbuh tersebar di
seluruh kawasan Indonesia. Hal itu dapat terlihat dari berbagai kasus Genosida
yang terjadi sejauh sejarah berdirinya Indonesia.
Indonesia sebagai Negara kesatuan yang terdiri dari ribuan pulau dan
wilayah yang cukup besar memiliki banyak sekali budaya yang terdapat
didalamnya. Bahkan di satu pulau dapat memiliki ratusan kebudayaan yang berbeda
satu sama lain. Keanekaragaman ini merupakan suatu kelebihan namun tidak
menutup adanya perselisihan antar kelompok etnis yang tumbuh tersebar di
seluruh kawasan Indonesia. Hal itu dapat terlihat dari berbagai kasus Genosida
yang terjadi sejauh sejarah berdirinya Indonesia.
·
Pembunuhan masal di Bandanaira (Pulau Banda) tahun 1621 oleh Belanda
pada zaman Jan Pietersz Coen. Penduduk dipaksa untuk bekerja. Akibat pembunuhan
tersebut belanda terpaksa mendatangkan budak dr Negara dan daerah lain. Jumlah
pasti tidak diketahui. Dalam kesaksian disebut hamper semua penduduk meninggal,
sebagian kecil melarikan diri.
· Pembantaian
pada zaman Kerja Tanam Paksa setelah Perang Jawa (18251830) dibawah
kepemimpinan Jenderal Van den Bosch. Jumlah pasti korban tidak diketahui. Tragedi pembantaian Jepang di
Kalimantan. Tidak hanya kaum prokemerdekaan yg dibunuh tetapi juga para pemuka
agama, pemuka golongan dan para Raja di zaman itu. Westerling di Sulawesi Selatan.
Menurut mantan Diplomat RI, Manai Sophian, tercatat 40.000 orang meninggal
meski Belanda mengklaim hanya 5000 orang yang meninggal.
·
Tragedi 1965.
Setelah gerakan G30SPKI terjadi, gerakan ‘membersihkan’ komunis menggelora dimana-mana.
Militer dikerahkan ke seluruh negri, Mereka yang dianggap pendukung komunis,
dibantai, ditangkap, disiksa dan dibuang tanpa pernah ada pengadilan yang adil
dan bukti yang jelas. Kebanyakan dari mereka yang ditangkap adalah buruh dan
petani. Tragedi mei 1998
dimana etnis tionghoa mengalami pembantaian, pengrusakan properti, pemerkosaan
dan penculikan.
·
Kerusuhan
Sampit, (Februari 2001) Kalimantan Barat antara suku Dayak dan Suku Madura.
Kebanyakan kasus Genosida yang terjadi sebelum masa kemerdekaan memiliki motif
atau latar belakang kepentingan politik para penjajah di masa itu. Sedangkan
kasus Genosida yang terjadi setelah kemerdekaan Indonesia seperti kasus G30SPKI
dimana pembantaian dilakukan terhadap mereka yang menganut paham dan termasuk
golongan komunis merupakan kasus Genosida dengan latar belakang faham atau
golongan.
2.
Rentetan Pelanggaran
HAM di Aceh

Dalam pengusutan pelanggaran HAM tersebut, sejumlah
penyelidik resmi dan pengumpulan fakta atas pelangaran Hak Asasi Manusia (HAM)
di Aceh telah melakukan pengusutan sejak bulan Juli 1998. Setiap penyelidikan
ini mengumpulkan bukti-bukti dari ratusan kasus pelanggaran yang dilakukan
sejak tahun 1989 dan mengindikasikan adanya keterlibatan aparat keamanan dalam
pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi. Dalam
seminar yang bertema “Mengungkap Kebenaran Kasus Pelanggaran Hak Asasi
Manusia (HAM) Aceh” di Universitas Malikussaleh Lhokseumawe pada 2012 ada
puluhan kali tim turun untuk mencari fakta dalam penyelesaian pelanggaran HAM,
diantaranya adalah:
Pertama, pada Juli 1998: Tim Gabungan Pencari Fakta DPR
dibentuk. Pada bulan Oktober 1998 tim ini mengumpulkan temuan sementaranya
lebih dari 6.837 kasus pelanggaran HAM sejak 1989-1998. Kedua, Agustus 1998:
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melakukan penyelidikan di Aceh.
Laporan pendahuluannya menyebutkan telah menemukan bukti-bukti adanya, paling
tidak 781 orang meninggal, 163 orang hilang, 368 kasus penyiksaan, dan 102
kasus pemerkosaan yang terjadi antara tahun 1989 dan 1998. Ketiga, Juli 1999:
Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh (KIPTKA) dibentuk melalui
sebuah instruksi presiden (masa pemerintahan Presiden Habibie). Dilaporkan
bahwa komisi ini telah mengumpulkan keterangan mengenai 7000 kasus pelanggaran HAM
di Aceh yang terjadi selama sepuluh tahun terakhir, meliputi diantaranya berupa
pembunuhan diluar jalur hukum, penyiksaan, penghilangan paksa, penahanan
sewenag-wenang, pemerkosaan dan tindak kekerasan seksual. Komisi tersebut
merekomendasikan agar lima kasus segera diajukan ke pengadilan.Terakhir,
Nopember 1999: kejaksaan Agung melakukan penyelidikan terhadap lima kasus yang
direkomendasikan untuk diadili oleh KIPTKA. Lima kasus tersebut masing-masing adalah kasus pemerkosaan di
Pidie yang terjadi pada bulan Agustus 1996; kasus penyiksaan dan penghilangan
paksa yang terjadi antara tahun 1997 dan 1998 disebuah tempat yang dikenal
sebagai Rumoh Geudong di Pidie; pembunuhan diluar jalur hukum terhadap tujuh
warga sipil di Idi Cut, Aceh Timur pada bulan Pebruari 1999; pembunuhan diluar
jalur hukum terhadap 35 warga sipil di simpang KKA, Aceh Utara pada bulan Mei
1999; dan pembunuhan di luar jalur hukum terhadap seorang ulama (Tgk.
Bantaqiah) dan para pengikutnya di desa Blang Meurandeh, Beutong Ateuh, Aceh Barat
pada bulan Juli 1999.
3.
Kasus marsinah

Marsinah bekerja
sejak tamat SMA. Tuntutan hidup menyebabkannya melepas cita-cita melanjutkan
studi di Fakultas Hukum. Ia berjualan nasi bungkus di sekitar pabrik tempatnya
bekerja. Sebagai buruh, Marsinah harus beberapa kali pindah tempat kerja dari
satu pabrik ke pabrik satunya. Gajinya jauh dari cukup. Pada 1990 ia bekerja di
PT Catur Putra Surya (CPS) Rungkut, Surabaya. Di tempat inilah nalar kritik
Marsinah mulai muncul. Ia tidak pernah menjadi anggota aktivis buruh. Bersama
teman-temannya, Marsinah menuntut pembentukan unit serikat pekerja formal
(SPSI). Keterlibatannya dalam aksi itu menjadikan alasan pemindahannya ke
pabrik PT CPS di Porong, Sidoarjo pada 1992.
Di Sidoarjo ia
aktif membela hak buruhyang terlibat pemogokan. Ia mengirim surat ke pihak
perusahaan atas pemanggilan oleh pihak Kodim yang berujung pemecatan secara
paksa terhadap 11 orang buruh. Ia berencana mengadukan kasus itu kepada
pamannya yang berprofesi sebagai Jaksa di Surabaya. Tetapi rencananya tidak
sempat terwujud karena pembunuhan terhadap dirinya.
Kematian Marsinah
meninggalkan misteri. Yudi Susanto sebagai pemilik perusahaan tempat
Marsinah bekerja dan beberapa orang staf yang dituduh membunuhnya,
divonis bebas murni dari hukuman oleh Pengadilan Tinggi Surabaya dan Mahkamah
Agung. Hasil penyidikan menyebutkan bahwa tiga hari sebelum dinyatakan tewas,
Marsinah sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan
rekan-rekannya yang ditahan pihak Kodim.
Sekitar pukul 10
malam tanggal 6 Mei 1993, Marsinah “hilang” sampai kemudian ditemukan dalam
keadaan tewas. Hingga kini belum ada upaya serius untuk membongkar kematian
Marsinah.
Kasus Marsinah
menjadi salah satu bentuk pelanggaran HAM berat yang terjadi selama
pemerintahan Orde Baru. Kasus yang menimpa Marsinah ini kemudian kembali
terjadi di tahun 1997 yang menimpa seorang wartawan Harian Bernas bernama Fuad
M. Syarifuddin alias Udin. Pada 1993 Yayasan Pusat Hak Asasi Manusia
menganugerahinya Yap Tiam Hiem Award.
Keadilan masih temaram
dalam kasus Marsinah.
4. Kasus-kasus di papua
Lima kekerasan tersebut, kebanyakan dilakukan aparatur Kepolisian dan TNI. Kelimanya yakni penembakan yang terjadi di Gereja Betlehen Pantekosta di Boven Digoel, yang menewaskan Pendeta Federika Metelmetti, 38 tahun, pada 22 November 2012.
Temuan kedua, penembakan dan penangkapan empat warga di Timika. Keempatnya yakni Yopy Kwalik (30), Arianus Amisim (18), Yance Tsugumo (28), dan Yoppi Elobo (20). Arianus ditahan di Polres Mile 32 Mimika, Papua. Sejak itu, masyarakat setempat mengungsi ke hutan dan banyak yang belum kembali. KontraS menemukan, kabar yang beredar di warga, polisi mengintimidasi dan menyiksa 14 warga di sana.
Temuan ketiga, yakni penyiksaan warga sipil, Frengki Uamang, pada 27 November 2012. Ia ditangkap, ditahan, dan terus menerus disiksa. Polisi menuduh Frengki mau membeli senjata lipat, ketika Frengki hendak menyiapkan syukuran di Gereja Kemah Injil.
Temuan keempat, yakni tewasnya Timotius AP. Timo yang hilang beberapa hari, mendadak 'dipulangkan' polisi pada 4 Desember 2012. Di jenazah Timo, ada bekas jahitan di perut, yang diduga dilakukan polisi untuk mengeluarkan peluru. Keesokan harinya, Kepolisian Daerah Papua mengeluarkan rilis. Isi rilisnya, Timo benar ditembak anggota polisi, lantaran Timo terlebih dahulu menodongkan senjatanya.
"Tembakan polisi itu tujuannya sebagai tembakan peringatan. Tapi malah menewaskan Timo. Ini aneh," ujar Sri.
Temuan kelima, yakni penembakan yang dilakukan aparatur TNI dan Kepolisian di kampung Milima, DIstrik Kurulu, pada 16 Desember 2012. Warga sipil, Natalis Alua (34) tewas setelah sempat dirawat di UGD Wamena. Tak hanya Natalis yang jadi korban. Aktivis KNPB, Hubertus Mabel (32), tewas di rumah sakit setelah ditembak di kampung Abusak, Kurulu. Pasca-penembakan, warga berbondong-bondong meninggalkan kampung karena takut.
Temuan keenam, yakni penyiksaan terhadap tahanan politik Kanius Murib. Kanius ialah tahanan di Wamena. Sudah lama Kanius sakit, tapi tak segera dicarikan dokter yang kompeten. "Catatan kami, selama korban ditahan, ia 22 kali sakit. Dokter tak pernah berikan penjelasan kepada keluarga," ujar Sri. 11 Desember 2012, Kanius meninggal di rumahnya. Ketika hampir menemui ajal, dia dikembalikan dengan kondisi tubuh yang buruk. Diduga, Kanius disiksa.
pelanggaran ham yang ringan di Indonesia :
KASUS KEKERASAN :
KASUS KEKERASAN :
Selain itu kasus-kasus yang disebutkan di atas, masih ada kasus-kasus
lain yang merupakan bagian dari peristiwa-peristiwa kekerasan yang berlangsung
sehari-hari berdasarkan pemantauan Kontras antara Juli hingga Desember 1999 sebagai berikut: Antara 4 Juli
1999-25 Desember 1999 setidaknya ada 194 warga sipil yang menjadi korban
kekerasan Aparat Keamanan, 22 diantaranya tewas dan 172 luka-luka ringan dan
berat; Antara 19 Oktober-25 Desember 1999, setidaknya 290 korban pembunuhan
misterius umunya dengan pola petrus (penembak misterius), menelan korban
sebanyak: 239 sipil tewas dan 10 luka-luka dan sisanya sekitar 51 jiwa
non-sipil; Antara 16 April 1999-25
Desember 1999, setidaknya 902 unit bangunan
terbakar, terdiri dari Sekolah, kantor Camat dan gedung pemerintahan
lainnya, dari sekian jumlah tersebut, sekitar 80 persen atau 132 unit adalah
bangunan sekolah dan sekita 191 bangunan dibakar oleh aparat keamanan dalam
operasi sweeping; Antara 5 Agustus-25 Desember 1999 setidaknya 128 orang (105
sipil dan sisanya militer) hilang diculik dan sebagian dari mereka ditemukan
dalam keadaan tewas yang mengenaskan; 2001
bawah operasi Rajawali ada 1216 kasus pelanggaran HAM, operasi ini dilakukan untuk
menemukan langkah komperhensif dalam
menyelesaikan masalah Aceh berdasarkan Inpres No 4/2001 di tengah-tengah Jeda
Kemanusiaan; 2003-2004 Darurat Militer I dan II ada 1.326 kasus pelanggaran
HAM, Kegagalan perundingan damai antara RI dan GAM direspon dengan kebijakan
darurat militer, masa ini penyelesaian HAM sejumlah anggota TNI rendah dihukum.
Statusnya diturunkan menjadi Darurat Sipil sampai sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar